MENGEMBALIKAN FUNGSI PAJAK DAERAH BAGI KEMAKMUARAN RAKYAT

Fakultas Ekonomi dan Bisnis – UNRIKABERITA MENGEMBALIKAN FUNGSI PAJAK DAERAH BAGI KEMAKMUARAN RAKYAT
0 Comments

 Moch Aminudin Hadi. S.Sos., SE, MM
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam

(Diterbitkan di Harian Batam Pos, Edisi 22 Oktober 2011)

Dalam beberapa buku teori perpajakan, pajak didefinisikan sebagai iuran yang dipaksakan, dipungut berdasarkan undang-undang, tidak mendapatkan manfaat langsung, dan digunakan untuk kepentingan negara. Menurut UU No 28 Tahun 2009 Pajak Daerah ialah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk kepentingan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak memiliki 2 fungsi pokok, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend (Rosdiana & Tarigan, 2005).  Fungsi budgetair berarti pajak berfungsi untuk mengisi kas negara dalam rangka membiayai penyelenggaraan negara, sedangkan fungsi regulerend berarti pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah.  Contoh fungsi regulerend adalah penetapan bea masuk produk impor untuk melindungi industri dalam negeri.  Sementara itu, pemerintah memiliki tiga fungsi pokok (Musgrave & Musgrave, 1989) yaitu mengatasi masalah inefiensi alokasi sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan penghasilan serta kekayaan kepada masyakarat sehingga tercapai masyarakat adil dan makmur, dan mengatasi fluktuasi ekonomi.  Secara singkat disebut dengan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Sesuai UU No 28 Tahun 2009 Pasal 2, Pajak Provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.  Sedangkan Pajak Kabupaten / Kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan.  Namun Pasal ini juga mengamanatkan pajak tersebut di atas tidak boleh dipungut apabila potensi di daerah kurang memadai.

Muara dari semua upaya memungut pajak pada akhirnya adalah terciptanya kemakmuran bagi rakyat.  Rendahnya realisasi PAD Kota Batam dari pajak dan retribusi menunjukkan rendahnya kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).  Hal ini juga diakui oleh Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan (Batam Pos, 22 September 2011).  Pemerintah Kota Batam menjawab semua persoalan ini dengan mengeluarkan Perda No 5 Tahun 2011, di antaranya yang menjadi sorotan ialah pajak hotel yang diterapkan untuk pemilik rumah kos dengan minimal 10 kamar sebesar 10 persen dan pajak restoran yang diterapkan untuk jasa catering dengan omzet sebulan minimal Rp10 juta sebesar 10 persen.  Bukan hanya pemilik rumah kos yang merasa keberatan dengan langkah ini,  namun masyarakat yang menggunakan jasa rumah kos merasa khawatir dengan kenaikan uang sewa.  Pengenaan pajak 10 persen untuk jasa catering juga dikhawatirkan akan menyebabkan harga catering mengalami kenaikan.

Kearifan Pemerintah Kota Batam sedang diuji.  Dalam hemat penulis, melihat rendahnya capaian pajak yang hanya berkisar 43,06 persen hingga 71,94 persen menunjukkan kesungguhan aparat yang bertanggungjawab dipertanyakan.  Belum lagi capaian retribusi parkir yang hanya mencapai 2,23 persen, retribusi sampah 35,57 persen, retribusi jasa umum 25,5 persen semakin menimbulkan pertanyaan, masih efektif dan efisienkah birokrasi di Kota Batam?  Belum lagi bila dikaitkan dengan realisasi belanja aparat yang melebihi belanja publik.  Melihat kinerja seperti ini wajar bila masyarakat mulai menanyakan benarkan masyarakat akan menuju kepada kemakmuran?

Sederhana saja, bila melihat capaian yang sangat rendah maka program intensifikasi merupakan pilihan yang tepat sebelum mengarah kepada ekstensifikasi.  Pemerintah Kota Batam seyogyanya mengevaluasi kinerja SKPD kemudian membuat langkah-langkah yang aplikatif dalam rangka intensifikasi pajak dan penarikan retribusi.  Patut diduga banyak terjadi kebocoran atau kelengahan pengawasan dalam penarikan retribusi parkir.  Melalui penelitian sederhana dapat dilakukan pengambilan sampel pada sejumlah uang yang dikumpulkan tukang parkir.  Setelah dibuat rata-rata dari sejumlah tukang parkir yang menjadi sampel penelitian, kemudian bisa diperkiraan berapa total uang yang dikumpulkan tukang parkir yang ada di Kota Batam.  Jumlah tersebut dapat dibandingkan dengan jumlah retribusi yang dikumpulkan oleh SKPD terkait yang hanya  sebesar Rp419,2 juta selama 8 bulan di tahun 2011 (Batam Pos, 22 September 2011).  Penelitian ini bisa melibatkan kalangan akademik dan bisa menjadi kegiatan menarik bagi mahasiswa serta dosen yang membimbing.

Mekanisme pemungutan retribusi sampah juga perlu dievaluasi.  Pertumbuhan jumlah perumahan yang ada di Batam seharusnya berbanding lurus dengan kenaikan jumlah retribusi sampah.  Pencapaian yang hanya 25.57 persen menunjukkan masih lemahnya tata kelola dan pengawasan SKPD terkait.

Bila tata kelola dan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi ini dibenahi, bukan tidak mungkin target PAD akan terpenuhi.  Dengan demikian Pemerintah Kota Batam bisa menahan diri untuk tidak melakukan program ektensifikasi yang menimbulkan gejolak di masyarakat.  Pemungutan pajak restoran untuk jasa catering dan pajak hotel untuk rumah kos sebesar 10 persen diperkirakan mempunyai multiplier effect yang menimbulkan dampak biaya melebihi manfaat penambahan PAD dari 2 sektor ini.  Benar bahwa jumlah rumah kos di Batam sangat banyak dan memiliki potensi sebagai tambahan PAD.  Pertanyaannya, siapa pengguna jasa kos tersebut?  Bukankah mereka umumnya adalah kelompok masyarakat yang belum mampu membeli rumah?  Mereka adalah golongan pekerja yang merupakan golongan mayoritas di Batam.

Belum lagi kemungkinan kenaikan jasa catering diperkirakan memberatkan bagi perusahaan yang menyediakan catering bagi karyawannya.  Bagi karyawan yang membeli jasa catering tanpa bantuan perusahaan, tentu akan menambah anggaran bulanan untuk makan.  Dampak lainnya, sebagaimana ritual akhir tahun Pemko Batam, Apindo, dan perwakilan dari serikat butuh akan kembali berunding merumuskan angka Kehidupan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan Umah Minimum Kota (UMK) Batam.  Kebiasan tidak ada titik temu nampaknya akan berulang di tahun ini.  Ketidakpuasan anggota serikat buruh terkait besaran UMK yang dipandang belum sesuai dengan KHL dapat menjadi pemicu kurang kondusifnya iklim hubungan industrial di Kota Batam.

Dengan tetap berprasangka baik, tentu Pemerintah Kota Batam sudah mengkaji secara akademik untung rugi penetapan tarif 10 persen untuk  kedua obyek pajak baru tersebut.  Sebaiknya Pemerintah Kota Batam dapat mempublikasikan kajian komprehensif tersebut ke masyakarat dan menyiapkan diri untuk melakukan debat publik.  Bila Pemerintah Kota Batam dapat meyakinkan bahwa penetapan tarif tersebut lebih banyak manfaat dibanding madhorotnya, sudah tentu masyarakat Batam akan memberikan dukungan.  Namun bila ternyata kebijakan tersebut menambah beban masyarakat, secara arif seharusnya dapat ditunda menunggu kajian yang lebih mendalam.  Apalagi bila ini dikaitkan dengan janji politik saat kampanye lalu, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Batam.

Bila dikembalikan pada teori perpajakan, apakah penetapan 2 obyek pajak baru sesuai dengan fungsi pemerintah dalam menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi?  Fungsi alokasi mengisyaratkan pentingnya pemerintah menjadi penyedia barang publik yang tidak mungkin diserahkan mekanisme pasar / swasta, karena pasar / swasta hanya merespon manakala ada keuntungan.  Bisa dicontohkan dengan peran pemerintah dalam menyediakan jalan yang tidak mungkin dibangun swasta, kecuali jalan tol yang berbayar.  Fungsi alokasi pemerintah bertujuan agar masyarakat dapat mengakses barang atau layanan publik dengan nyaman dan murah, seperti menikmati mulusnya jalan, mudah mencari sekolah, mudah mendapatkan layanan kesehatan, kemudahan menggunakan transportasi publik, mudah mendapatkan sewa rumah murah, dan lain-lain.  Bila masyakarat Batam memaklumi bahwa beberapa hal barang dan layanan publik yang disebutkan tadi belum dapat terpenuhi, maka penarikan pajak untuk rumah kos dan jasa boga / catering akan menambah beban masyarakat.  Dengan demikian fungsi alokasi pemerintah dapat dikatakan belum dijalankan.

Fungsi distribusi pemerintah bertujuan mendistribusikan pendapatan dan kesejahteraan dalam masyarakat.  Sederhananya, pemerintah memungut dana lebih dari masyarakat mampu untuk digunakan membangun dan menjalankan sarana yang mudah diakses oleh masyarakat yang tidak mampu.  Gencarnya upaya Pemerintah dalam memungut pajak bagi rumah kos dan jasa catering seolah mencederai fungsi ini.  Beban masyarakat tidak mampu bukannya tertolong, namun justru kian bertambah.

Sementara itu fungsi stabilisasi pemerintah  mengisyaratkan bagaimana pajak menjadi instrumen dalam mengendalikan makro ekonomi, seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi atau menekan laju inflasi, keseimbangan pasar (permintaan dan penawaran).  Patut diduga, bahwa pemungutan pajak bagi rumah kos dan jasa catering sebesar 10 persen justru akan membuat kenaikan harga dan menggangu stabilitas iklim usaha di Batam.  Bagi pengusaha akan terasa kian berat, dan bagi masyarakat hanya menambah beban.  Bila demikian yang terjadi maka fungsi stabilisasi pemerintah dapat dikatakan gagal.

Seyogyanya pemerintah dapat menjelaskan ke publik, khususnya kalangan akademisi bagaimana mereka memastikan ketiga fungsi pemerintah tersebut dengan lebih cerdas, bukan semata-mata alasan menambah PAD.  Muara dari PAD tentu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilihat dari porsi belanja publik yang lebih besar, bukan memperbesar porsi belanja aparat.  Dengan studi banding yang telah dilaksanakan di berbagai kota besar di dunia seperti Fukuyama (Jepang), Athena (Yunani), Sydney (Australia), New York (Amerika Serikat), Hongkong, dan Gimje (Korea Selatan) yang diikuti unsur SKPD, tentu Pemerintah Kota Batam kian cerdas untuk segera membuat kemakmuran masyarakat Batam seperti kemakmuran yang dicapai “sister city” tersebut.  Selain itu dengan studi banding ke Bali dengan alasan peningkatan PAD, wakil rakyat juga diharapkan kian cerdas dalam mendorong kemakmuran masyakarat Batam.

Dalam kondisi anggaran yang defisit,  masyarakat Batam sedang menanti peningkatan kemakmuran yang sedang sungguh-sungguh dipikirkan dan diperjuangkan oleh Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam.  Dengan banyaknya studi banding yang menyedot anggaran, diyakini mereka bukan saja mereka bertambah cerdas namun juga lebih berempati kepada masyakarat Batam. ***